kisah
menarik. Suatu ketika hidup
seorang nenek yang setiap hari
bersedih hati dan murung. Dia
memiliki dua orang anak, yang
satu berjualan es dan lainnya berjualan payung. Jika cuaca
baik, si nenek memikirkan anaknya
yang berjualan payung pasti
tidak laku. Begitu cuaca hujan
maka yang terpikir olehnya anak
yang berjualan es pasti tidak laku. Apapun cuaca setiap hari,
dia bersedih hati.
Andaikan nenek tersebut
menyikapi dengan cara yang
berbeda, pasti hasilnya berbeda.
Saat cuaca baik, yang dipikirkan anaknya yang berjualan es pasti
akan laku. Jika cuaca hujan,
arahkan pikiran ke anak yang
berjualan payung pasti akan
laris. Apapun cuaca setiap hari,
dia akan bergembira. Mudah bagi kita untuk mengecam
nenek tersebut kenapa tidak
berpikir dengan cara kedua yang
lebih positif. Yakinkah kita jika
berada di posisi sang nenek, tidak
akan terperangkap dalam cara berpikir negatif pertama ?.
Yang terjadi adalah kita sering
terjebak perangkap pemikiran
negatif ala sang nenek. Alih-alih
melihat sisi positif dari setiap
kejadian, kita hanya terpaku pada sisi negatifnya sehingga
sulit untuk menerima kenyataan.
Ada baiknya meniru orang yang
selalu berkata 'untung'
walaupun sedang 'buntung'.
Seburuk apapun situasi, kondisi, dan orang yang dihadapi, selalu
ada pelajaran atau hikmah yang
bisa dipetik. Benar petuah orang
bijak, "Semua kejadian yang
dialami, yang baik ataupun buruk,
pasti ada hikmahnya". Lebih baik mengambil hikmah dan pelajaran
dari pengalaman buruk sehingga
bisa terhindar dari 'lubang' yang
sama di kemudian hari, daripada
menekurinya tanpa putus.
Berbagai fenomena kehidupan, yang baik maupun buruk, selalu
datang ke setiap orang silih
berganti. Fenomena baik-buruk ini
contohnya untung-rugi, nama
baik-nama buruk, pujian-celaan,
dan kebahagiaan-penderitaan. Tidak ada manusia yang selalu
didatangi fenomena baik dan
selalu berhasil menghindari
fenomena tidak baik. Kesadaran
bahwa kehidupan ini laiknya
roda yang berputar, dimana bagian atas bisa ke bawah dan
sebaliknya, membuat kita lebih
siap menghadapi segala kejadian
kehidupan. Pikiran positif harus
selalu disetel terutama
sewaktu 'dijajal' oleh kejadian tidak enak.
Menyambung cerita nenek di atas,
dengan gampang kita mencela dia
karena cara berpikirnya yang
negatif. Memang penonton selalu
lebih 'ahli' daripada atlet profesional yang sedang berlaga.
Mudah sekali kita mencela
pemain olah raga yang kita
tonton, kenapa begini dan tidak
begitu, kenapa mengoper ke
pemain ini dan tidak ke pemain itu. Kita lebih jago dari yang
ditonton. Bisakah kita
melakukannya dengan lebih baik
seandainya kita menjadi yang
ditonton ? Saya percaya
jawaban yang jujur kemungkinan besar adalah TIDAK. Menjadi
hakim selalu lebih mudah
dibanding tertuduh atau
terdakwa.
Begitu juga dalam kehidupan
nyata. Laiknya penonton 'ahli' yang sama sekali tidak 'ahli' di
lapangan olah raga, demikian pula kita adalah penonton 'ahli' yang sama sekali tidak 'ahli' di
kehidupan nyata. Dengan gampang kita melabel orang lain
sebagai bodoh, malas, jahat,
tidak baik, curang, egois, kikir,
dan lain-lain, tanpa sadar kalau
diri kita tidak lebih baik.
Benar kalimat bijaksana berikut, "Sebelum seseorang
memperhatikan kesalahan-
kesalahan orang lain, apa yang
diperbuat dan tidak diperbuat
orang lain, lebih baik
memperhatikan dahulu apa yang diperbuat dan tidak diperbuat
oleh diri sendiri. Jagalah diri
sendiri sebaik-baiknya terlebih
dahulu" Marilah kita mulai menjadi
penonton 'ahli' yang benar-benar
'ahli'